Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Selasa, 28 Juni 2011

HUGUA-ARHAWI DILANTK MENJADI BUPATI DAN WAKIL BUPATI WAKATOBI PEIODE 2011-2016


Beritakendari.com - Selasa (28/6/2011) Kandidat Pemilukada Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Ir. Hugua dan H. Arhawi (SURGAWI) resmi menjadi Bupati dan Wakil Bupati Wakatobi periode 2011-2016. Proses pengambilan sumpah keduanya dilakukan oleh Gubernur Sultra, Nur Alam, selaku atas nama Presiden RI dalam sidang paripurna istimewa DPRD Kabupaten Wakatobi yang berlangsung disekretariat DPRD Sultra, Selasa (28/6/2011) sekitar pukul 08.30 Wita.
Pelantikan ini molor dari jadwal sebelumnya menyusul adanya gugatan terhadap hasil Pemilukada Wakatobi ke tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh lima pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Wakatobi yang kalah. Kelima pasangan itu yakni, pasangan Aslaman Sadik-Andi Hasan (nomor urut 1), La Ode Sudil Baenu-Halimudin Adam (nomor urut 2), Ediarto Rusmin-La Ode Hasimin (nomor urut 3), La Ode Bawangi-La Ode Bahasani (nomor urut 4), dan La Onu La Ola-L a Ode Boa Sardiman (nomor urut 6).

Dalam materi gugatannya, kelima pasangan itu yang bertindak selaku pemohon mengklaim telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif saat Pemilukada Wakatobi. Tak hanya itu, materi lain juga seperti adanya perubahan DPS dan DPT, PNS yang tidak netral, mobilisasi pemilih, intimidasi, wajib pilih tanpa NIK atau pemilih dibawah umur, pengunaan fasilitas negara dan politik uang.

Namun Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili perkara  itu pada 4 Mei 2011, menjatuhkan putusan menolak seluruh gugatan para pemohon yang secara otomatis menjadikan Hugua-Arhawi, pasangan calon yang diusung PDI Perjuangan, Partai Golkar dan PAN itu sebagai pemenang Pemilukada.

Salah satu pertimbangan hukum MK menolak seluruh gugatan pemohon, yakni pokok permohonan para pemohon tidak terbukti secara signifikan mempengaruhi hasil Pemilukada Wakatobi yang digelar tahun 2011. Sehingga menurut MK, keputusan KPUD Kabupaten Wakatobi Nomor:274/19/PKWK/IV/2011 tanggal 2 April 2011 tentang penetapan dan pengesahan pasangan hasil Pemilukada dinyatakan berlaku sah menurut hukum. [Ys]

Senin, 27 Juni 2011

MELURUSKAN KERANCUAN SEPUTAR ISTILAH-ISTILAH SYARIAT

 OLEH : Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA
              (Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah)

 Tidak Ada Demokrasi Islam

Banyak orang apalagi masyarakat awam, beranggapan bahwa agama islam adalah agama demokrasi. Dan Islam mengajarkan kepada umatnya agar bermasyarakat dan bernegara denganasas demokrasi Islam, dengan alasan Islam mengajarkan syura/permusyawaratan.

Anggapan ini adalah anggapan yang amat salah dan tidak berdasar, sebab antara kedua istilah ini terdapat perbedaan yang amat mendasar, yang menjadikan keduanya bak timur dan barat, air dan api, langit dan bumi. Berikut saya sebutkan beberapa prinsip utama syura, yang merupakan pembeda dari demokrasi. Semoga dengan mengetahui beberapa perbedaan antara keduanya ini, kita dapat meluruskan kesalah pahaman yang telah mendarah daging di tubuh banyak dan sanubari banyak umat islam.

Prinsip Syura Pertama:
Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.

Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

“Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: Dahulu Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan ialah membaca Al Qur’an, bila ia mendapatkan padanya ayat yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah (hadits) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia akan memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan suatu keputusan’? Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sehingga Abu bakar berkata: ’Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa Salam.’ Akan tetapi bila ia tidak mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia mengumpulkan para pemuka dan orang-orang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat, maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)

Dari kisah ini nyatalah bagi kita bahwa musyawarah hanyalah disyari’atkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada satupun dalil tentangnya, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah. Adapun bila permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al
Qur’an atau hadits shahih, maka tidak ada alasan untuk bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut. Adapun sistim demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan bahkan penetapan undang-undang yang nyata-nyata menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang, bahkan sampaipun masalah pornografi, rumah perjudian, komplek prostitusi, pemilihan orang non muslim sebagai pemimpin dll.

Prinsip Syura Kedua:
Kebenaran tidak di ukur dengan jumlah yang menyuarakannya.

Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang harus di amalkan.

“Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan: Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggal dunia, dan Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah, kemudian sebagian orang kabilah arab kufur (murtad dari Islam), Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar: ‘Bagaimana engkau memerangi mereka, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hak-haknya (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa), sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah kepada Allah.”’ Abu Bakar-pun menjawab: ‘Sungguh demi Allah aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, niscaya akan aku perangi karenanya.’ Maka selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: ‘Sungguh demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah pendapat yang benar.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Begitu juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tetap mempertahankan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam.

Abu Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang keputusan beliau:

“Sungguh demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan yang telah diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, walaupun burung menyambar kita, binatang buas mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri NabiShallallahu ‘alaihi wa Salam), aku tetap akan meneruskan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar kota Madinah.” [Sebagaimana dikisahkan dalam kitabkitab sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].

Imam As Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang-orang yang ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya suatu dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain (taklid kepada) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, 13/342]

Penjelasan Imam As Syafi’i ini merupakan penerapan nyata dari firman Allah Ta’ala:
“Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10)

Ayat-ayat yang mulia ini dan kandungannya, semuanya menunjukkan akan kewajiban mengembalikan hal yang diperselisihkan diantara manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yang demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah ‘Azza wa Jalla, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya. Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi, sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak, walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah, kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi, dan Islam bukan agama demokrasi.

Prinsip Syura Ketiga:
Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.
Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya masing-masing.

Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat, merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap anggota masyarakat, siapapun dia –tidak ada bedanya antara peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng atau bahkan gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek kemaksiatannya.

Bila ada yang berkata: Ini kan hanya sebatas istilah, dan yang dimaksud oleh ulama’ atau tokoh masyarakat dari ucapan demokrasi islam ialah sistem syura’, bukan sitem demokrasi ala orang-orang kafir, sehingga ini hanya sebatas penamaan.

Jawaban dari sanggahan ini ialah:
Pertama:
Istilah ini adalah istilah yang muhdats (hasil rekayasa manusia) maka tidak layak dan tidak dibenarkan menggunakan istilah-istilah yang semacam ini dalam agama Islam yang telah sempurna dan telah memiliki istilah tersendiri yang bagus serta selamat dari makna yang batil.

Kedua:
Penggunaan istilah ini merupakan praktek menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang kafir, dan Islam telah mengharamkan atas umatnya perbuatan nmenyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka.” (Abu Dawud dll)

Dalam sistem demokrasi yang meyakini, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka rakyat akan memilih pemimpin sesuai dengan seleranya. Jika rakyat suka berjudi, maka mereka akan memilih pemimpin yang mendukung hobi mereka. Jika rakyat suka dangdut, maka ia akan memilih partai yang mendukung dangdut. Jika rakyat hobi pengajian, maka mereka akan memilih partai yang menggalakkan pengajian. Karena ingin meraih suara rakyat itulah, ada partai yang mempunyai program seperti “tong sampah”. Apa saja diadakan, yang penting dapat dukungan.

Wahai kaum Muslim,
Slogan demokratisasi ternyata mengandung muatan kepentingan negara besar pengemban ideologi kufur sekulerisme kapitalisme. Banyak sekali slogan dan wajah manis yang disajikan di hadapan kita. Sekilas nampak baik, tapi sebenarnya hanyalah tipuan belaka. Karenanya, waspadalah dalam mensikapi berbagai slogan dan propaganda serta aktivitas kaum imperialis di dunia Islam. Allah SWT mengingatkan kita dalam firman-Nya: dikutip dari: Telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dada mereka lebih besar (TQS. Ali Imran[3]:118).
Telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dada mereka lebih besar (TQS. Ali Imran[3]:118).

PLENO KPUD TETAPKAN SURGAWI PEMENANG PILKADA WAKATOBI



Beritakendari.com-Wakatobi-Jumat (1/4/2011) Rapat Pleno yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) menetapkan pasangan Hugua dan Aruhawi sebagai pemenang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Wakatobi 2011.
Ketua KPUD Wakatobi, La Ode Suryono di Wakatobi, Jumat, mengatakan, pasangan SurgAwi (Hugua dan Aruhawi) yang diusung oleh koalisi 5 parpol yakni Golkar, PDIP, Barnas, PKB dan PAN memperoleh suara sebesar 24.584 suara (48,43%). “Dari perolehan suara ini, pasangan Surgawi berhasil mengalahkan saingan beratnya yang diusung oleh koalisi Partai Demokrat, PBR, Hanura dan PKS yakni pasangan Esha (Ediarto Rusmin dan La Ode Hasimin) dengan perolehan suara sebesar  14.305 suara (28,18%),” katanya.
Sisa perolehan lainnya masing-masing diraih oleh pasangan Laba (La Ode Bawangi dan H La Ode Bahasani) sebesar 4.116 suara (8,11%), pasangan Obor (La Onu La Ola dan La Ode Boa Sardiman) sebesar 3.082 suara (6,08%), Pasangan Amanah (Aslaman Sadik dan Andi Hasan) sebesar 2.870 suara (5,65%)dan terakhir pasangan Subhan (La Ode Sudil Baenu dan Halimudin Adam) sebesar 1.798 suara (3,54%).
Suryono menambahkan, dari keseluruhan jumlah suara hasil rekapitulasi tiap PPK, terdapat 50.760 suara yang syah sedangkan jumlah keseluruhan suara tidak syah sebanyak 3.467 suara. “Dengan demikian jumlah suara keseluruhan antara suara sah dan tidak sah sebanyak 54.227 suara dari jumlah pemilih sekitar 70.000,” tambahnya.
Berdasarkan hasil rekapitulasi perolehan suara di KPUD pasangan Surgawi (Hugua dan Aruhawi) unggul di semua kecamatan di Kabupaten Wakatobi. Hasil pleno KPUD Kabupaten Wakatobi ini akan di sampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Wakatobi untuk di paripurnakan dengan agenda penetapan calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih yang akan memimpin Wakatobi periode 2011 – 2016. [Al]

HUGUA-ARHAWI SIAP BERBAGI PERAN DALAM MEMBANGUN WAKATOBI

Beritakendari.com-Senin (27/6/2011) Meski pelantikan Ir. Hugua dan H. Arhawi sebagai Bupati dan Wakil Bupati Wakatobi terpilih tinggal sehari lagi, namun keduanya sudah siap berbagi peran dalam membangun Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, periode lima tahun mendatang.
Didampingi wakilnya, Hugua yang menyempatkan diri bertemu awak media di kediamannya di Kendari, Senin (27/6) memaparkan sejumlah agenda penting yang baru saja ia jalankan dan akan segera dijalankan, baik oleh dirinya sebagai Bupati Wakatobi maupun bersama wakilnya, H. Arhawi.

Hugua mengungkapkan, beberapa hari sebelumnya ia baru saja menjadi pembicara dalam seminar tingkat dunia yang bertajuk “Mayor Round Table Meeting” pada Conference International The Fifth Asia-Pasific Urban Forum 2011 di UNCC Bangkok. Diforum itu, Hugua memaparkan potensi bahari Taman Nasional Laut Wakatobi. Materi lain pun yang sempat dibawakan mengenai “MDGs and Wakatobi Development, a Lesson Learn on P3BM UNDP Jakarta Wakatobi Government”.

Sedangkan agenda penting lain yang akan di hadiri Hugua dua hari kedepan adalah penetapan Wakatobi sebagai Cagar Biosfir Dunia oleh PBB melalui UNESCO, dan Hugua sendiri akan berangkat ke Eropa untuk agenda tersebut pasca pelantikannya.
Hugua bersama wakilnya juga akan menghadiri pertemuan dengan Gubernur Sultra setelah acara pelantikan mereka, guna membahas kesiapan penyelenggaraan SAIL WAKATOBI-BELITUNG Agustus mendatang. “Wakil saya Arhawi dalam waktu dekat akan langsung menghadiri penerimaan penghargaan dibidang kependudukan “. Ujar Hugua.

Menurut Hugua, dirinya akan menjalankan beberapa Agenda besar Nasional dan Dunia termasuk dirinya menjadi bagian dari 7 Bupati/Walikota selektif tingkat tinggi se -Asia Pasifik yang secara berkesinambungan melakukan sidang-sidang khusus untuk memberikan nasehat-nasehat atau pertimbangan kepada badan dunia PBB.

“tentu wakil saya Arhawi akan mengambil peran penting, untuk tetap menjalankan program-program pemerintah baik yang sedang berjalan maupun yang sedang dirancang sekaligus pengawasan terhadap roda pembangunan di Wakatobi,”jelasnya.

“intinya kami akan membagi peran penting masing-masing dan saya pun mau tidak mau harus menjalankan agenda-agenda nasional maupun internasional yang telah dipercayakan kepada saya, namun bukan berarti saya lepas tangan dengan roda pembangunan daerah saya Wakatobi, justru kami disini membagi peran yang lebih luas baik sebagai Bupati maupun Wakil Bupati untuk tetap seiring sejalan, karena Waktobi saat ini, bukan hanya bisa memberi efek kepada masyarakatnya sendiri, namun Wakatobi sudah memberi pengaruh terhadap Bangsa ini dan Dunia sekaligus,” papar Hugua.

Sementara itu H. Arhawi selaku Wakil Bupati Wakatobi menjelaskan bahwa dirinya sebagai pendamping Bupati, tentu akan membantu sepenuhnya program dan langkah-langkah taktis Bupati Wakatobi. “sebagai Wakil Bupati terpilih, saya tentu akan tetap menjalankan roda pembangunan Wakatobi untuk tetap komitmen terhadap beberapa sektor pembangunan yang terus di galakkan di Wakatobi, mulai dari infrastruktur, perekonomian, pendididikan, kesehatan, kelautan dan berbagai sektor lainnya,”jelasnya.

“meski saya mencoba mengambil peran penting dalam beberapa sektor tersebut, namun saya dan Bupati tidak bisa dipisahkan karena sama-sama memposisikan diri untuk pembangunan Wakatobi agar bisa menjadi daerah penting baik secara nasional maupun internasional, karena peran kami baik Bupati dan Wakil Bupati hanya pada 1 tujuan yang sama adalah untuk Wakatobi yang lebih Maju dan lebih sejahtera”, sambung Arhawi.

Pemerintah Wakatobi sendiri, masih gencar melakukan pemantapan-pemantapan kesiapan menyambut Agenda Nasional SAIL WAKATOBI-BELITUNG Agustus 2011, dan ini akan menjadi agenda kerja paling besar bagi Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Wakatobi di waktu dekat ini. [Ino]

KEKUASAAN DAN KEBOHONGAN


Oleh : Laode Ida (Wakil Ketua DPD RI. Artikel ini pandangan pribadi)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajaran kabinetnya tampaknya tersinggung dan resah terkait dengan tuduhan sebagai ‘telah berbohong kepada publik’ yang dilontarkan para pimpinan organisasi keagamaan setelah bertemu di kantor PP Muhammadiyah (10/1/2011). Menurut versi para tokoh moralis itu, hingga kini telah terakumulasi 18 kebohongan (lama dan baru) yang dilakukan pemerintahan SBY.

Dengan tuduhan itu, pastilah SBY dan jajarannya merasa dipermalukan. Pembelaan pun dilakukan melalui konferensi pers, yang intinya ‘menyangkali tuduhan’ itu. Pihak pemerintah hanya mengakui kalau masih ada target program yang belum semuanya dicapai. Dan, pengakuan terhadap ‘gagalnya mencapai target program’ itu juga merupakan bagian dari kejujuran. Tepatnya, menurut versi ini, SBY sudah berupaya menyampaikan informasi dan data yang jujur kepada masyarakat luas.

Perbedaan pandangan seperti itu sebenarnya wajar-wajar saja, karena masing-masing berdasarkan data yang dimiliki. Presiden memiliki data atau angka-angka statistik yang disiapkan oleh para pembantunya. Sementara para tokoh agama, selain berdasarkan pengalaman lapangan berinteraksi dengan komunitas dan termasuk derita serta jeritan dari sebagian umat, juga ditopang oleh sumber-sumber kredibel baik dari kalangan akademisi maupun aktivis.

Kendati begitu, secara teoretik, posisi dan sikap para tokoh agama akan selalu kontras dengan para politisi. Mengapa? Dari segi orientasi, para tokoh agama lebih pada pengejawantahan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran berdasarkan ruh ajaran agama yang dianutnya. Mereka merupakan sumbu penerang, panutan dan sekaligus berjuang bagi para umatnya dan masyarakat luas pada umumnya. Dan, ketika menyimpang dari itu semua, maka secara berangsur akan mengalami penurunan kepercayaan dari komunitas yang mereka pimpin dan bimbing; akan kehilangan ketokohan dalam masyarakat. Padahal kepercayaan mayarakat itulah yang menjadi modal dasar dan utama untuk tetap eksis dari waktu ke waktu.
Sementara kalangan politisi, yang dalam konteks ini adalah para elite pemerintah yang sedang disorot oleh para tokoh agama itu, jelas orientasinya adalah kekuasaan, mengesampingkan dimensi moral dalam pandangan dan tindakan. Terlebih lagi bagi mereka yang sudah terlanjur menikmati kekuasaan, pastilah dengan sagala cara berupaya untuk mempertahankan posisi, termasuk dengan cara-cara kasar atau kekerasan untuk menyingkirkan lawan politiknya.

Semua itu dianggap wajar-wajar saja. Apalagi kalau hanya sekedar menyampaikan data atau informasi yang tidak diketahui oleh masyarakat awam alias berbohong, sudah pasti hal itu tak akan pernah dianggap sebagai pelanggaran dalam dunia politik. Setidaknya, bagi para politisi, pernyataan dan sikap yang intinya ‘berbohong’, merupakan suatu cara untuk tetap meyakinkan publik sehingga bisa tetap dipercaya oleh masyarakat awam dan eksis pada kekuasaannya. Sebab bila secara jujur mengakui apa adanya, maka bukan mustahil masyarakat akan menganggap pemerintahan sudah gagal menjalankan tugas dan kewajiban azasinya.
Pertanyaannya kemudian, masih pantaskah kita mempersoalkan kebohongan pemerintahan sementara para figurnya umumnya merupakan politisi? Atau, sebaliknya, bukankah akan lebih simpati bagi Preiden SBY dan jajarannya kalau menerima pernyataan kebohongan sebagai koreksi mendasar untuk kemudian melakukan perbaikan ke depan? Kedua pertanyaan yang saling terkait itu memang penting untuk direnungkan, karena kalau mau jujur diakui, negara ini memang (mulai dari pusat hingga sampai di daerah) merupakan miliki atau dibawah kendali politisi dengan karakter atau orientasinya seperti dijelaskan di atas.

Kebohongan dari para elite penyelenggara negara sudah merupakan konsumsi rutin dan masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, sekaligus secara fundamental merusak atau mencemari moralitas rakyat yang semula menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Bahkan, pada tingkat tertentu, akan sangat jarang para penyelenggara negara ini bisa tampil dan eksis kalau tidak terlebih dahulu menipu atau menebar kebohongan.

Cobalah, misalnya, pelajari janji-janji politik saat kampanye para calon pejabat publik (mulai dari presiden, para anggota parlemen, sampai pada kepala daerah), dan kemudian bandingkan dengan realisasi atau kebijakannya setelah menjabat. Pastilah umunya akan menyimpang. Dan, jangan heran kalau untuk menghindar dari kebohongannya, maka para pemimpin (elite politik) itu akan dengan canggih mengungkapkan keberhasilan dengan berbagai data dan argumen kebohongan yang direkayasa secara canggih. Parahnya lagi, walaupun masyarakat sudah mengetahui pemimpinnya berbohong, toh tetap dimaafkan. Inilah barangkali sebagai bagian dari konsekwensi masyarakat kita yang sering terjebak pada sifat dan sikap permisif.
Kondisi seperti itulah, barangkali, yang hendak diperjuangkan oleh para tokoh agama di negeri ini dengan mencoba melontarkan kritik tajam terhadap pemerintahan sekarang ini, dengan istilah kasar “melakukan kebohongan” – sebuah upaya untuk mengembalikan sistem nilai kejujuran sebagai panduan moral dalam mengelola bangsa ini. Sebab seharusnya kita menyadari bahwa tanpa desakan dan campur tangan para figur yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama itu untuk mengingatkan para penyelenggara negara, maka bangsa ini akan semakin mengalami demoralisasi publik sebagai konsekwensi dari jebakan kekuasaan politik yang sangat mapan. 

Namun persoalannya, mungkin lantaran tidak semua tokoh agama di negeri ini bisa bebas dari kepentingan politik, sehingga pemerintah agak enggan (bahkan resisten) untuk menerimanya secara tulus dan lapang dada.

Jakarta, 15 Januari 2011.
Laode Ida
Laodeida88@yahoo.com
0811184884.

Sumber : http://www.facebook.com/profile.php?id=100000207927858&sk=notes#!/notes/laode-ida-satu-full/kekuasaan-dan-kebohongan/184632354894547

Sabtu, 25 Juni 2011

SK PALSU MK JUGA MAKAN KORBAN DI WAKATOBI


OLEH : MUHAMMAD ILHAM NUR

 
Saturday, 25 June 2011
KENDARINEWS: Surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini menyeret mantan anggota KPU, Andi Nurpati, juga memakan korban di daerah Sulawesi Tenggara. Adalah Djunaidi, caleg Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk Dapil Wakatobi II yang menjadi korbannya.

Awalnya, sidang pleno KPUD Wakatobi telah memutuskan Djunaidi sebagai anggota DPRD Wakatobi berdasarkan perolehan suara pada pemilu 2009. Namun KPU pusat kemudian membatalkannya karena mengacu pada surat palsu MK yang menetapkan La Kei, calon dari partai Barnas, sebagai pemenang.

Dalam keputusan KPUD Wakatobi, PPP (Djunaidi) menduduki urutan 13 dari 13 kursi yang tersedia di Dapil Wakatobi II, sedangkan Barnas (La Kei) pada urutan 21 untuk perolehan suara pemilu 2009. Namun dengan surat “siluman” MK itu tiba-tiba perolehan suara tersebut menjadi berubah, Barnas ditempatkan pada posisi urutan 9 sedangkan PPP terlempar ke posisi 14. Artinya, PPP tidak lagi mendapatkan kursi, karena hanya 13 kursi tersedia di Dapil tersebut.

Seiring terkuaknya surat palsu MK yang diduga melibatkan sejumlah oknum di dalam tubuh MK bekerjasama dengan orang-orang tertentu di KPU, Djunaidi, sejak sepekan ini ke Jakarta untuk mengadukan kembali kecurangan yang merugikan dirinya. Ia menyampaikan aduannya ke sejumlah pihak, seperti Panja Mafia Pemilu (baca Kendari Pos, Sabtu, 25/6) dan juga berencana menyampaikan langsung kepada Ketua MK, Mahfud MD, dan Mabes Polri.

Sebenarnya, permasalahan ini telah diadukan Djunaidi sesaat setelah dicurangi 2009 lalu, termasuk ke Polda Sultra. Namun pihak kepolisian setempat terkesan mendiamkan permasalahan ini sehingga kali ini akan melaporkan langsung ke Mabes Polri, seiring terbongkarnya surat palsu dari MK.

Seperti diketahui, SK palsu MK terungkap setelah Ketua MK Mahfud MD melaporkan dugaan pemalsuan surat keputusan lembaganya ke polisi yang melibatkan Andi Nurpati. Pemalsuan surat itu menyangkut pembatalan Dewi Yasin Limpo sebagai anggota DPR oleh KPU, berdasarkan putusan MK. Namun selain itu diduga masih banyak pemalsuan yang terjadi di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, seperti yang terjadi di Wakatobi.

Mahfud sendiri berharap agar kepolisian bisa bekerja independen dalam mengungkap kasus ini, agar semua bisa jelas. Dewi yang juga adik gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, sendiri berharap bisa dipanggil polisi dan Panja Mafia Pemilu untuk membongkar semua permainan yang diketahuinya. "Saya yakin akan dipanggil, karena saya memang bagian dari korban. Dan nanti saya akan sampaikan sebuah kejutan," kata Dewi Yasin Limpo kepada wartawan di Makassar.

Sementara itu, guna menegakkan kebenaran sekaligus mendapatkan kembali haknya sebagai anggota DPRD, Djunaidi Untuk itu, pekan ini dirinya juga akan melaporkan SK palsu ini ke Mabes Polri. Dirinya juga akan laporkan masalah ini ke MK.

Sejumlah anggota Komisi II DPR RI dalam rapat KPU dan Bawaslu di Gedung DPR RI, Jumat (24/6) meminta agar KPU dan Bawaslu terbuka memberikan informasi terkait pemalsuan SK MK tersebut, sebab banyak
dugaan kursi yang diduduki sejumlah pihak bermasalah.

Anggota Komisi II DPR, Arif Wibowo dari Fraksi PDIP dalam rapat tersebut mengatakan, masalah SK palsu MK harus tidak bisa dibiarkan. Komisi II juga mendapat efek buruknya. "Pemalsuan surat keputusan MK, tidak hanya satu kasus tetapi banyak kasus yang juga dialami di daerah saat Pemilu Legislatif lalu," kata Arif.

KRONOLOGIS WAKATOBI

Menurut Djunaidi, MK tiba-tiba mengeluarkan surat keputusan tanpa diregistrasi perkara di MK."Gugatan perkara itu tiba-tiba ada dalam amar putusan MK yang membatalkan keputusan KPU Wakatobi mengenai penetapan caleg terpilih,” kata Djunaedi kepada wartawan, kemarin.

Djunaidi yang juga Ketua DPC PPP Wakatobi menjelaskan, dalam sengketa Pemilu Legislatif 2009, Parpol hanya diberikan waktu selama tiga hari mendaftarkan gugatan di MK dan memberikan waktu satu hari masa perbaikan jika berkas perkara gugatannya tidak lengkap. "Dari berkas-berkas parpol yang memenuhi syarat syarat waktu itu yang kemudian diregistrasi MK, sedang yang tidak lengkap sampai batas waktu yang diberikan tidak diregistrasi," tuturnya menjelaskan kronologis dirinya dibatalkan sebagai caleg terpilih.

Setelah masa perbaikan, lanjutnya, MK kemudian menyurat ke KPU sebagai termohon atas daftar registrasi perkara yang telah ditetapkan. Dari daftar registrasi perkara itu, Dapil II Wakatobi tidak ada dalam daftar registrasi perkara. "Buktinya ada di KPU, tidak ada surat daftar registrasi perkara untuk Dapil Wakatobi II. Daftar registrasi perkara dari MK juga dipublikasikan ke seluruh media waktu itu, melalui internet, TV, dan papan informasi MK. Semua jalur informasi ini, tidak ada satu pun gugatan untuk Dapil Wakatobi II," ujarnya.

Anehnya, kata Djunaidi, tiba-tiba saja muncul perkara gugatan Dapil Wakatobi, perbaikan setelah kurang lebih dua minggu perkara itu teregistrasi ke MK. Anehnya lagi, dalam amar putusan itu saat MK memutuskan perkara Pemilu Legislatif 2009, langsung ada nama Dapil Wakatobi II, sementara perkara itu tidak ada dalam registrasi perkara MK.

Pemohon dalam amar putusan itu kata Junaedi berasal dari Partai Barnas dan partai terkait adalah PPP. "Dalam amar putusan ini langsung bunyinya Dapil Wakatobi II dengan putusan MK itu melampaui DPT. SK putusan MK itu merugikan PPP, dan saya sebagai Caleg PPP yang kehilangan kursi," sebutnya.
Surat keputusan ini, kata Djunaidi, benar-benar merugikan dirinya dan partainya. Kerugiannya adalah perkara itu tidak ada dalam daftar perkara yang dimasukkan di MK. Tidak ada juga surat dari MK ke KPU masa perbaikan tentang perkara di Dapil Wakatobi II. "Apa yang diputus MK adalah perkara palsu," tegasnya. (fri)

Kamis, 23 Juni 2011

PEMILU YANG MEMILUKAN

OLEH : LA ODE BALAWA 


Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Setelah pencetusan Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, hak azasi manusia yang pertama dan utama harus dinikmati oleh segenap rakyat Indonesia ialah kemerdekaan. Oleh karena itu, maka segala bentuk penjajahan harus dilawan dan dilenyapkan dari muka bumi Indonesia tanah air kita ini. Oleh karena itu pula, kewajiban pertama dan utama bagi setiap pemimpin di negeri ini ialah memberikan jalan selebar-lebarnya bagi segenap rakyat Indonesia untuk memperoleh hak kemerdekaannya dalam menyempurnakan kemanusiaannya. Dengan demikian, kemerdekaan akan tumbuh dan berkembang menjadi nilai-nilai budaya semesta yang dijunjung tinggi oleh segenap warga negara Indonesia yang beradab pada khususnya dan warga dunia yang beradab pada umumnya.

Begitu jugalah semestinya semangat yang hidup dan dihidupkan dalam setiap peristiwa politik pemilihan umum (Pemilu) yang merupakan sarana demokratis untuk memilih wakil rakyat untuk duduk di pemerintahan (legislatif dan eksekutif) baik di daerah maupun di pusat. Pemilu sebagai peristiwa politik haruslah dapat ditransformasikan menjadi peristiwa budaya merdeka. Pemilu seyogyanya menjadi pintu gerbang penegakkan nilai-nilai demokratis yang sesungguhnya juga adalah nilai-nilai budaya yang telah berakar lama di dalam masyarakat tradisional bangsa Indonesia di pedesaan pada khususnya. Pemilu semestinya memberikan ruang dan suasana yang kondusif bagi rakyat agar lebih arif dalam memilih pemimpinnya dan bagi pemimpin agar lebih setia memegang amanah dari rakyatnya.

Namun, peristiwa pemilu yang kita saksikan dan kita rasakan pada akhir-akhir ini cenderung masih jauh dari harapan seperti itu. Prosesi pemilu di berbagai daerah di Indonesia cenderung statis karena praktik-praktik yang makin mengabaikan nilai-nilai budaya yang semestinya dipelihara dengan sebaik-baiknya. Rakyat di pedesaan pada umumnya kurang diberi keleluasaan untuk memilih figur yang betul-betul dipercayai dapat mewakili mereka. Keterbatasan pengetahuan politik dan ekonomi mereka masih selalu dimanfaatkan oleh para kandidat melalui politik uang, barang, atau kepentingan material apapun namanya. Secara ekstrim, banyak pengamat yang mengeluhkan dan prihatin atas kenyataan pemilu yang makin berubah fungsi menjadi pasar loak pembelian kekuasaan.

Kalau praktik-praktik negatif dalam pemilu seperti itu dibiarkan berkembang, maka berarti kita kembali menjerat rakyat dan bangsa ini ke dalam belenggu penjajahan. Yang lebih memilukan lagi karena penjeblosan rakyat ke dalam kurungan penjajahan itu dilakukan oleh bangsa sendiri melalui praktik kekuasaan dan uang. Hasil praktik-praktik negatif dalam pemilu seperti itu semakin memperburuk pula prilaku kepemimpinan, legitimasi pemerintahan bukan lagi dilandasi kenyataan pemerintah mewakili rakyat, melainkan pemerintah mewakili keluarga, sahabat, atau tim sukses. Ketika jadi kandidat mereka muncul “penuh kemesraan” di tengah-tengah rakyat, tapi setelah berhasil mencuri kepercayaan rakyat mereka begitu mudah mengubah wujudnya menjadi penguasa yang tak peduli akan nasib rakyat, bahkan menekan dan semena-mena terhadap rakyat.

Pada saat menulis risalah ini masyarakat Buton di Provinsi Sulawesi Tenggara tengah seru-serunya terlibat dalam suasana menjelang pemilu Bupati Buton untuk Periode 2011-2016. Situasi dan issu negatif seperti yang dipaparkan di atas masih cenderung mengemuka. Baleho pelbagai ukuran sulit dihitung jumlahnya. Berbagai kegiatan masal berlangsung di mana-mana, seperti kenduri masal, doa masal, amplop masal, dan tentu hiburan masal. Berbagai atribut promosi kelebihan dan kehebatan para kandidat disebar ke mana-mana. Bahkan ada indikasi banyak akademisi dan intelektual Buton yang ikut terlibat sebagai kaki tangan dan sahabat gelap dalam praktik-praktik kekuasaan dan uang yang memalukan itu. Kemarin ruang opini surat kabar harian Baubau Pos (terbitan Rabu 22 Juni 2011) sempat digunakan oleh seorang kandidat doktor untuk “obral murahan” bagi salah satu pasangan calon dalam pemilukada Kabupaten Buton yang akan berlangsung dalam beberapa bulan mendatang.

Apakah suasana pemilu di negeri ini akan terus-terusan begitu? Apakah praktik-praktik negatif dari pemilu ke pemilu akan terus-terusan kita hadapi sebagai cuaca buruk, semua orang mengetahui dan meributkannya, tapi tak seorang pun yang berani dan sanggup menghentikannya? Semoga tidak, semoga kita jangan pernah kehilangan harapan dan niat baik untuk mewujudkan peristiwa pemilu yang betul-betul demokratis, yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai budaya leluhur yang andal dan telah teruji keagungannya. Semoga kita tidak kehabisan kesabaran untuk saling mengingatkan ke jalan yang benar, bahu-membahu mewujudkan pemimpin yang betul-betul mencerminkan getaran hati nurani rakyat yang paling halus. Setidak-tidaknya, kita jangan pernah berhenti membangun keinginan yang baik untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan kita bersama.

Sebagai rakyat, marilah kita gunakan hak kemerdekaan kita untuk memilih pemimpin yang betulu-betul sesuai dengan harapan dan keinginan hati nurani kita masing-masing. Sebagai pemimpin dan kandidat pemimpin, marilah kita memberikan jalan selebar-lebarnya kepada segenap masyarakat untuk memperoleh hak kemerdekaannya dalam mewujudkan pemilu yang jujur dan adil sesuai dengan nilai-nilai demokratis dan nilai-nilai budaya yang agung. Pemilih yang arif pasti akan memiliki kesatuan acuan, kesatuan pandangan, kesatuan perasaan, kesatuan sikap, dan kesatuan tindakan untuk menggunakan hak pilihnya bukan sebagai tanggung jawab dan kepentingan dunia semata, melainkan juga sebagai tanggung jawab dan kepentingan akhiratnya.

Akankah segala harapan dan keinginan baik itu lahir pada Pemilukada Kabupaten Buton 2011 ini? Ataukah Pemilukada Kabupaten Buton 2011 ini kembali akan berujung dengan “rasa pilu” yang “memilukan”?

Selasa, 21 Juni 2011

KONFLIK-KONFLIK VERTIKAL DI INDONESIA


OLEH : SETA BASRI


Konflik-konflik vertikal di Indonesia. Dalam hidup berbangsa, pembangunan consensus kerap tidak bisa dicapai secara mudah. Konflik merupakan factor yang memicu dinamika hubungan antarkelompok sebelum consensus dibangun. Konsensus yang terbangun pun kerap menjadi “mentah” oleh terjadinya konflik.

Konflik sesungguhnya termanifestasikan ke dalam 2 bentuk. Pertama, konflik yang berlangsung secara damai dan tidak membutuhkan cost material seperti kerusuhan, kehilangan jiwa, cedera fisik, dan sejenisnya. Konflik seperti ini justru inheren dalam kehidupan bernegara, terutama dalam praktek-praktek demokrasi liberal. Kedua, konflik yang termanifestasi ke dalam vandalism dan violence. Konflik-konflik seperti ini yang kerap menggelisahkan mayoritas masyarakat dan para pemimpin Indonesia.

Konflik dalam bentuk yang pertama (damai) utamanya berlangsung di level elit, saat negosiasi politik berlangsung. Konflik tersebut dilokalisasi di dalam gedung parlemen ataupun saluran-saluran demokrasi yang ada seperti pers, partai politik, LSM, organisasi kemasyarakatan, dan tokoh-tokoh public. Sebaliknya, konflik dalam pengertian yang kedua terjadi di dataran horizontal, biasanya berupa benturan antara rakyat versus rakyat, di mana yang menjadi korban adalah rakyat pula. Bahkan tidak jarang, konflik di dataran horizontal merupakan kembangan sistematis dari konflik di level elit. Masih teringat tragedy 1966 di mana massa rakyat di pulau Jawa (juga Bali) melakukan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia. Konflik tersebut merupakan kembangan dari konflik politik di tingkat elit antara elit antikomunis versus prokomunis.

Konflik yang hendak kita bicarakan lebih terletak di bentuk yang kedua, konflik yang disertai vandalism dan violence. Konflik-konflik seperti ini banyak sekali menggejala di masyarakat Indonesia yang katanya “ramah” itu. Saling bunuh dan rusak antarsuku bangsa terjadi hampir di sekujur pulau-pulau nusantara, dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, bahkan Jakarta sendiri. Kajian atas sistem sosial dan budaya Indonesia tidak lah lengkap tanpa satu kajian serius atas akar-akar kemunculan dari konflik dalam bentuk kedua ini.

‘Roots of Conflict’ secara Teori

Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia umumnya berkembang di sekeliling kemajemukan masyarakat Indonesia. Warna suku bangsa, etnis, agama, dan pelapisan sosial kerap mewarnai konflik-konflik violence dan vandal yang muncul. Konflik yang berakar pada wacana primordialisme ini umum terjadi dalam konflik antara suku bangsa Madura, Melayu, dan Dayak di Kalimantan, antara Islam dan Kristen di Maluku dan Palu (Sulawesi Tengah), Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Konflik Aceh, pembantaian 1966 di Jawa dan Bali, dan sejenisnya.

Sebab itu, sebelum bahasan atas masing-masing konflik dilakukan, terlebih dahulu dibeberkan sejumlah teori yang langsung menjelaskan suatu situasi konflik. Dari teori tersebut, sebab musabab dari konflik yang terjadi di Indonesia akan dipetakan. Ini merupakan sumbangan bagi pemahaman peserta mata kuliah bahwa kendati integrasi nasional telah dibakukan, di arus bawah (juga level elit) consensus nasional sesungguhnya masih terus berproses untuk menjadi.

Patrick Baron, Claire Q. Smith, dan Michael Woolcock membedakan 4 cara pandang dalam melihat fenomena konflik violence dan vandal. Keempat cara pandang tersebut adalah sosiologis, politik, politik-ekonomi, dan antropologi.1

Pendekatan Sosiologis. Dalam cara pandang sosiologis, konflik dikaitkan dengan masalah primordial. Ia menekankan pada keunikan dan keberadaan budaya yang satu sama lain saling terbatas serta kelompok yang menaunginya. Mereka menjelaskan konflik dalam istilah kekuatan psikologi dan budaya dalam mana individu di dalam kelompok memahami diri dan pihak lain.

Termasuk ke dalam pendekatan sosiologis ini adalah masalah prasangka dan stereotip. Prasangka mengacu pada sikap bermusuhan yang ditujukan terhadap suatu kelompok atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai cirri yang tidak menyenangkan.2 Ia disebut prasangka akibat dugaan yang dianut orang yang berprasangka tidak didasarkan pada pengetahuan, pengalaman ataupun bukti yang cukup memadai. Misalnya, prasangka bahwa perempuan itu lemah, cerewet, merepotkan, dan sejenisnya merupakan sejumlah contoh.

Sementara itu stereotip adalah citra yang kaku mengenai suatu kelompok rasa tau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Stereotip biasanya diaplikasikan kepada suatu ras atau suku bangsa, sementara prasangka lebih kepada individu dan kelompok sosial yang lebih kecil. Stereotip dapat berupa dua, yaitu positif dan negative. Sisi positif misalnya pandangan bahwa orang Cina dan Padang pintar berdagang, orang Bugis dan Makassar pelaut pemberani, orang Jawa mampu hidup di mana saja, dan sejenisnya. Sementara stereotip negative misalnya pandangan bahwa orang Polandia itu kotor, bodoh, dan kasar, orang Batak itu kasar dan ‘besar mulut’, atau orang Kawanua gemar pesta dan boros.

Pendekatan Sosiologi-Politik. Pendekatan ini menggariskan pandangan pada sifat etnis yang sudah terbangun secara sosial dan kekerapan konflik yang kemudian muncul punya basis instrumental. Basis ini kemudian menjadi mekanisme bagi individu dan kelompok untuk memenuhi kepentingan mereka. Suku bangsa merupakan suatu bentuk jadi yang diperoleh lewat proses. Suku bangsa merupakan proses menjadi yang tercipta akibat adanya gerakan di masyarakat tersebut. Misalnya, Jong Sumatranen Bond 1920-an di Indonesia, terbentuk akibat keinginan peleburan etnis Sumatera yang berbeda-beda (Batak, Padang, Palembang, Aceh) ke dalam satu suku bangsa saja: Sumatera.

Pada perkembangannya, kelompok sosial yang terbentuk bukan lagi pada sesuatu yang “given” semisal suku bangsa Batak, Minangkabau, atau Betawi, tetapi dialiri oleh factor politik, baik yang bercorak positif maupun negative. Sebab itu, dalam pendekatan Sosiologi-Politik ini dikenal adanya 2 arus pergerakan. Pertama, penekanan pada peran dari elit intelektual dan politik dalam membentuk dan memelihara konsepsi diri dan kelompok. Budaya, untuk sebagian, merupakan derivasi (turunan) dari power relation (hubungan kekuasaan) yang dominan di dalam suatu komunitas, sebab itu formasi budaya dan dinamika yang kemudian berkembang merupakan pengejawantahan dari struktur kekuasaan yang ada.

Ekonomi Politik. Pendekatan ekonomi-politik menggeser titik perhatian atas fenomena konflik dari sisi actor individual kea rah sturktur-struktur masyarakat yang memberikan insentif material. Kelangkaan dan kesulitan distribusi kemakmuran merupakan titik tekan pendekatan ini. Bagi pendekatan ini, selama ada kondisi dominasi dan eksploitasi dalam masyarakat, perdamaian tidak pernah akan muncul. Perbedaan distribusi pendapatan, ketimpangan horizontal, dan perbedaan akses atas kekuasaan dan sumber daya, merupakan titik kajian dari pendekatan ekonomi-politik terhadap konflik vandal dan violence.

Pendekatan Antropologis. Sesuai namanya, pendekatan antropologis terhadap konflik focus pada aspek manusia. Utamanya perhatian pada adanya atau ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik dalam masyarakat. Akar-akar konflik yang biasanya muncul menurut tesis pendekatan ini adalah perbatasan wilayah kelompok, kepemilikan, sumber air, kepemimpinan, dan dinamika keluarga seperti prosedur warisan, pertikaian rumah tangga, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Pendekatan antropologis yang menekankan aspek manusia punya keuntungan. Pertama, mereka lebih focus pada “how to solve conflict” dengan mengajukan pertanyaan seperti apakah factor penyebab konflik itu keragaman agama, etnis, bahasa, distribusi sumber daya, atau masalah yang berkaitan dengan factor geografis? Kedua, mereka menolak penjelasan konflik yang “state-centric”. Orang Dayak, Maluku, Madura, mungkin saja mengaku sebagai sebangsa Indonesia, tetapi mengapa konflik tetap muncul?

Keempat pendekatan di atas berguna dalam menyelidiki konflik-konflik yang berkembang di Indonesia. Terkadang, beberapa pendekatan saling bertumpang-tindih tatkala kita menjelaskan suatu fenomena konflik di Indonesia. Ini tidak bisa terhindarkan akibat konflik antara manusia bukanlah sesuatu yang sederhana dan monofaktor.

Konflik Aceh

Konflik yang terjadi di Aceh punya akar sejarah yang panjang.3 Akar konflik tersebut berkaitan erat dengan relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan sebagian rakyat Aceh. Sebab itu, masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik.

Dahulu, Teungku Daud Beure’uh turut mendukung kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Untuk itu, negosiasi antara ia dengan pemerintah pusat adalah otonomi politik dengan penyelenggaraan syariat Islam. Namun, setelah merdeka Aceh tiada diberikan otonomi tersebut dan malah diintegrasikan ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Kekecewaan ini kemudian muncul dalam bentuk pembentukan tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh pada tahun 1953. Pemberontakan tersebut usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.

Selain masalah kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik di Aceh juga muncul akibat peminggiran identitas cultural masyarakat Aceh. Sebagai sebuah komunitas, Aceh telah punya konsep yang mapan tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa kerajaan Samudera Pasai. Identifikasi cultural masyarakat Aceh yang dilekatkan pada agama Islam ini kemudian mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam.

Pada perkembangannya, pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Dengan kedua UU tersebut, kekhasan sosio-kultural Aceh tereliminasi. Struktur modern berupa RT, RW, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi harus diterapkan di Aceh menggantikan lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama.4 Untuk menjamin terselenggaranya UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit local yang jadi perpanjangan tangan dari elit pusat.

Selain identitas cultural, Aceh pun mengeluhkan masalah eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Penekanan pemerintah Orde Baru pada pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Dengan eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk pabrik di Aceh ini digunakan untuk ekspor.

Eksploitasi kekayaan alam ini kemudian mendatangkan masalah tatkala terjadi minimalisasi pengembalian ke Aceh. Tahun 1993, dari hasil LNG Aceh pemerintah punya beroleh 6.664 trilyun rupiah, sementara yang kembali ke Aceh adalah 453,9 milyar rupiah. Minimnya pengembalian ini semakin parah tatkala dilakukan survey BPS tahun 1993, bahwa Aceh memiliki desa termiskin terbesar di Indonesia yaitu 2.275 desa. Ini ironis dengan banyaknya industry besar yang berada di Aceh.

Pembangunan pabrik eksploitasi alam mendatangkan kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa, di mana orang-orangnya lebih professional ketimbang Aceh. Gerakan Aceh Merdeka memperoleh dukungan luas dari ketimpangan etnis yang terjadi ini. Masyarakat Aceh mulai menyadari hasil tambang (gas dan minyak) hasil bumi mereka lebih banyak yang dibawa ke Jakarta ketimbang dikembalikan ke Aceh.

Muara dari factor-faktor pendorong konflik di Aceh tersebut bermuara pada konflik militer GAM versus Pemerintah Pusat, dan di lapangan adalah ABRI (saat itu) versus GAM. Aceh masuk ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Kondisi ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi “eksploitasi” pusat (Jakarta) terhadap daerah.

Konflik Papua

Konflik Papua relative mirip dengan akar konflik yang terjadi di Aceh, terutama karakternya yang berhadapan dengan pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan penjanjian yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak separatism hingga kini.

Jika di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri tahun 1964.5 Gerakan awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM adalah maneuver-manuver sporadic guna menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran, atau penghasutan massa.

Esther Heidbuchel menyebutkan, lewat sejumlah perkembangan yang ia identifikasi, maka konflik Papua dapat dirunut kepada factor-faktor berikut :6
  • Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda,
  • Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum atas mereka,
  • Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip orang Papua itu ‘bodoh’ dan ‘gemar mabuk.’

Dalam perkembangan kemudian, masih menurut Heidbuchel, terbaginya komposisi penyelesaian konflik 3 jalan. Jalan pertama adalah Merdeka dan ini dimotori oleh OPM. Komposisi dari mereka yang pro kemerdekaan adalah rakyat biasa yang berpendidikan rendah, OPM, sebagian kecil elit Papua yang terdidik. Jalan kedua, pro Indonesia dengan status quo. Kelompok ini didukung oleh kaum migrant (orang-orang dari luar Papua), sebagian elit Papua yang terdidik, serta sebagian elit di pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus, yang didukung oleh mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama, dan LSM.

INTEGRASI NASIONAL INDONESIA

OLEH : SETA BASRI


Integrasi nasional Indonesia. Sejauh ini, apa yang telah ditampakkan oleh kajian sistem sosial dan budaya Indonesia? Bangsa yang ditengarai oleh aneka bifurkasi sosial menurut garis wilayah, etnis, agama, tingkat ekonomi, apakah masih memiliki signifikansi untuk bersatu? Jawabannya adalah ya. Persatuan di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang baru oleh sebab consensus nasional utama (Proklamasi 1945) pernah tercetus. Problem krusial di masa-masa kemudian adalah Indonesia terus mencari format-format baru integrasi nasionalnya sendiri.

Bukan Indonesia saja, Negara multikultur yang mengalami permasalahan integrasi nasional. Spanyol, sebagai missal, mengalami masalah integrasi nasional lewat persaingan politik antara etnis Catalan dengan Basque. Lebanon pun memiliki masalah integrasi nasional lewat integrasi agama yang sangat bervariasi (Islam Sunni, Islam Syiah, Kristen Maronit, Kristen Druze). Srilangka punya masalah yang terus berkembang akibat perseteruan antara etnis Sinhala dan Tamil. Tetangga Indonesia seperti Thailand dan Filipina menghadapi masalah integrasi nasional lewat kasus wilayah Pattani dan Moro. Sebab itu, masalah integrasi Negara yang berisikan multikultur bukan Cuma monopoli Indonesia.

Persoalan penting kemudian adalah, bagaimana Indonesia mengidentifikasi pola integrasi nasionalnya untuk kemudian diaplikasikan ke dalam tindakan positif menuju integrasi nasional, baik dari kalangan elit maupun masyarakat kebanyakan. Pertanyaan pentinya kemudian adalah, apa yang sesungguhnya “bergerak” dalam pola integrasi nasional Indonesia?

Beberapa Penjelasan Integrasi Nasional Indonesia

Dalam kasus integrasi nasional Indonesia, terdapat sejumlah penjelasan guna menggambarakan metode terjadinya integrasi nasional. Penjelasan-penjelasan ini memiliki aneka perbedaan titik tekan. Seluruh pendekatan yang tersedia kemudian akan dipertimbangkan keeratan hubungannya dengan metode integrasi nasional Indonesia.

1.Neopatrimonialisme

Pertama adalah penjelasan David Brown tentang metode integrasi Indonesia yang ditentukan elit.1 Brown menggunakan istilah Neo Patrimonialisme dalam kasus integrasi nasional Indonesia. Untuk memahami Neopatrimonialisme, paling jelas dikontraskan dengan apa yang Max Weber maksud dengan Patrimonialisme.

Patrimonialisme adalah “the object of obedience is the personal authority of the individual which he enjoys by virtue of his traditional status. The organized group exercising authority is, in the simplest case, primarily based on relations of personal loyalty, cultivated through a common process of education. The person exercising authority is no a ‘superior’, but a personal ‘chief’. His administrative staff does no consist primarily of officials, but of personal retainers … Wha determines the relations of the administrative staff to the chief is not the impersonal obligations of office, but personal loyalty to the chief.2

Dalam patrimonialisme, sistem pemerintahan terbangun lewat ikatan antara pimpinan pemerintah tertentu (ketua adat, raja, sultan) atau orang berpengaruh di mana ia diangkat ke dalam posisi tertentu di dalam kekuasaan pusat. Orang-orang ini punya pengikut yang mengikutinya berdasarkan loyalitas personal. Jaringan-jaringan patron-klien ini kemudian mengembangkan loyalitas masing-masing yang kedaerahan ke tingkat nasional.

Negara patrimonial sebab itu merupakan puncak dari suatu masyarakat yang dikarakteristikkan oleh hubungan patron-klien tradisional. Negara patrimonial, sebab itu, bergantung pada seberapa besar loyalitas rakyat pada pemimpin lokalnya, dan, loyalitas para pemimpin local kepada pemerintah pusat. Ia mengandalkan stabilitas sistem politik tradisional kedaerahan yang berkembang. Misalnya, ketaatan rakyat Yogyakarta kepada Sultan Hamengkubuwono X dan ketaatan Sultan Hamengkubowono kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Atau, dalam kasus Aceh, seberapa besar loyalitas rakyat Aceh kepada Hasan Tiro dan bagaimana sikap Hasan Tiro kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia.

Lalu, apa yang membedakan antara patrimonialisme dengan neopatrimonialisme? Perbedaan utamanya terletak pada perubahan hubungan antara pengikut dan pemimpin. Dalam patrimonialisme, elit patrimonial menyatakan dirinya sebagai kelas istimewa yang mampu menempatkan dirinya sebagai monopol sumber daya sekaligus mengesampingkan massa dari wilayah kuasa dan kesejahteraan. Ini terus terjadi andaikan pemimpin patrimonial mampu menjamin keamanan dan perlindungan yang ia berikan kepada para pengikut.

Dalam neopatrimonialisme, perubahan ikatan tradisional, meningkatnya mobilisasi penduduk (vertical, horizontal), dan tersebarnya harapan akan demokrasi, membuat para elit patrimonial makin sulit memelihara ikatan patron-klien terhadap massanya. Loyalitas dari para pengikut kini berubah dari sekadar perlindungan dan keamanan menjadi bersifat material (kuasa, uang, kemakmuran).

Dalam konteks neopatrimonial, pemimpin massa yang tadinya (secara tradisional) memiliki pengikut loyal, kini mulai bergeser. Mereka tidak stabil lagi dalam menggamit massa-nya sendiri dan kemudian, untuk menyelamatkan posisi, turun ‘tahta’ menjadi broker politik. Pemimpin yang awalnya menguasai monopoli loyalitas massa suatu daerah kini terpecah. Dalam suatu daerah muncul ‘communal leader’ yang berbeda dengan pemimpin tradisional. Pemimpin-pemimpin baru ini mengklaim punya massa tertentu dan bersedia membela mereka baik secara material maupun politik. Inilah pemimpin-pemimpin neopatrimonial. Sebab itu, dalam Negara yang terintegrasi menurut garis neopatrimonial, menjadi penting kajian atas kohesi antar-elit neopatrimonial.

2.Teori Dimensi

Christine Drake mengutarakan tesis tentang 4 faktor yang mendorong integrasi nasional Indonesia.3 Pertama, dimensi politik dan sejarah yang menekankan kepada persamaan nasib selaku rakyat yang terjajah Hindia-Belanda, yang membangun kesadaran bersama mencapai satu tujuan. Kedua, dimensi sosiokultural yang termasuk atribut-atribut budaya yang sama, bahasa yang sama, agama yang sama, dan kemudian membimbing pada ikatan bersama untuk bersatu di dalam Indonesia.

Ketiga, dimensi interaktif, yaitu tingkat kontak yang terbangun antara orang-orang yang diam di wilayah yang kini menjadi Indonesia, di mana mereka satu sama lain saling berkomunikasi lewat perdagangan, transportasi, teleppon, migrasi, dan televise. Keempat, dimensi ekonomi, yaitu kesalingtergantungan ekonomi antar region-region yang ada di Indonesia.

3.Teori Proses Industri

Anthony Harold Birch.4 Birch coba cari jawaban bagaimana kelomopk etnik dan budaya yang saling berbeda mengikat diri ke dalam sebuah masyarakat nasional dan mendirikan Negara nasional. Sebagai proses, integrasi nasional merupakan produk dari kebijakan pemerintah (atau elit) yang disengaja. Integrasi nasional awalnya “tidak direncanakan” lewat proses mobilisasi sosial. Initinya suatu proses bagaimana industrialisasi mengundang pekerja meninggalkan desa asal untuk cari kerja di area industry baru. Perpindahan ini menggerogoti komunitas-komunitas sosial di area pedesaan dan memobilisasi pekerja untuk terserap di masyarakat nasional yang lebih besar. Hubungan kedaerahan menjadi lemah, bahasa dan dialek local makin samar untuk kemudian digantikan bahasan nasional. Budaya local dan kebiasaan kehilangan pendukungnya.

Alat transportasi, juga menyumbang point dalam integrasi nasional. Pembukaan jalan membuat wilayah-wilayah dan penduduk terlebur, berinteraksi, saling pengaruh. Terlebih, media massa kemudian muncul memberikan informasi-informasi baru harian kepada pemirsa yang bisa dicapainya. Anggota-anggota masyarakat yang tadinya berasal dari budaya atau kultur spesifik secara gradual masuk ke dalam terma masyarakat ‘yang lebih luas.’

Empat argumentasi diajukan dalam menjelaskan proses integrasi nasional. Pertama, dalam terminology keniscayaan sejarah. Dalam pandangan Hegel, masa depan umat manusia terletak dalam organisasi yang disebut ‘negara’. Negara merupakan bentuk tertinggi organisasi sosial yang ada di tengah masyarakat. Negara mempersatukan elemen-elemen yang berbeda di level masyarakat ke dalam ‘elemen bersama’ dan sifatnya lebih tinggi.

Kedua, pandangan integrasi nasional sebagai bentuk asimilasi sosial. Integrasi nasional adalah terasimilasinya budaya-budaya yang lebih ‘minor’ kepada budaya yang lebih ‘mayor’. Misalnya, etnis Cina di Indonesia mau tidak mau harus mengasimilasi seluruh atau sebagian dari kultur yang berkembang di Indonesia kebanyakan agar dapat terintegrasi baik di tengah Negara Indonesia. Demikian pula etnis-etnis Arab, agar dapat diterima di Indonesia harus mengasimilasi budaya umum yang berkembang di masyarakat Indonesia. Disintegrasi nasional muncul akibat asimilasi gagal dilakukan.

Ketiga, integrasi nasional muncul akibat pemerintah didasarkan atas perasaan kesatuan nasional. Integrasi nasional tidak akan tercipta jika perasaan tersebut belumlah lagi terbangun. Untuk itu, masalah bahasa persatuan, ideology nasional, merupakan komponen penting di dalam integrasi nasional. Pemerintah memiliki tugas menjamin hal-hal tersebut terselenggara, baik secara teori maupun praktik.

Keempat, integrasi nasional berhubungan dengan masalah representasi politik. Negara yang terbangun dari garis primordial berbeda memiliki sensitivitas tinggi warganegara atas aspek primordial ini. Agama, etnis, region, merupakan unsure primordial yang perlu diperhatikan representasi politiknya. Pimpinan puncak nasional memerlukan kohesi yang membuat representasi elemen primordial yang berlainan tersebut menggapai consensus. Partai-partai politik utamanya mengambil peran dalam integrasi nasional yang berhubungan dengan representasi politik ini.

INDONESIA, GENEALOGI ISTILAH, ANCESTOR, DAN BUDAYANYA

OLEH : SETA BASRI


Pengantar. Kajian sistem budaya Indonesia tidak akan lengkap tanpa sebelumnya terlebih dahulu dibahas garis besar mengenai apa yang dinamakan sebagai “Indonesia”. Kajian dititikberatkan pada aspek genealogi istilah Indonesia, faktor-faktor geografis, demografis, sosiologis, dan politik negara ini. Setelah serangkaian hal tersebut diperjelas, kajian sistem budaya Indonesia akan diperlihatkan signifikansinya.


Genealogi Istilah “Indonesia”
Sebelum Indonesia, sebagai sebuah bangsa, awalnya tidaklah ada. Jika kita lihat peta Indonesia kini, tersebar pulau-pulau. Dari Sabang yang paling Barat hingga daerah Merauke di paling Timur. Dari Sangir di paling Utara hingga Timor di paling Selatan. Hampir di setiap wilayah di kisaran pulau tersebut dihuni masyarakat berbeda, dengan budaya yang berbeda pula. Lalu, apa yang bisa dikatakan sebagai budaya Indonesia ?

Indonesia awalnya adalah sebuah gagasan. Gagasan kesatuan yang abstrak, yang meliputi wilayah jajahan Belanda. Gagasan yang kiranya masih baru dan terus mengalami perubahan dan adaptasi hingga saat ini. Gagasan yang kerap menghadapi sejumlah penolakan, separatisme, dan dekonstruksi ideologi hingga saat ini. Dari gagasan ini maka kajian sistem sosial dan budaya Indonesia berawal.

Indonesia adalah sebuah negara dengan 18.000 pulau yang tersebar di antara benua Asia dan Australia. Hampir setiap pulau dihuni oleh etnis dengan budaya yang spesifik. Satu sama lain berbeda. Lalu, bagaimana mereka bisa mengikatkan diri ke dalam sebuah nation?

Kata “Indonesia” pertama kali digagas oleh George Samuel Windsor Earl, pengamat sosial dari Inggris tahun 1850. Kata yang ia gagas adalah “Indu-nesians”. Saat itu Earl mencari istilah etnografis yang menjabarkan cabang ras Polinesia yang menghuni kepulauan Hindia (kepulauan kini Indonesia yang dibawah jajahan Belanda). Atau, istilah untuk menggambarkan ras-ras kulit coklat di Kepulauan Hindia. Namun, setelah menciptakan istilah “Indu-Nesians”, Earl langsung membuangya akibat terlalu umum dan menggantinya dengan “Malayunesians”.

Lalu rekan Earl bernama James Logan, mengabaikan Earl dan memutuskan bahwa “Indonesian” lebih tepat ketimbang “Malayunesians”. Indonesian, bagi Logan, lebih menjelaskan istilah geografis bukan etnografis. Logan menyebut bahwa kata “Indonesian” adalah pemendekan dari istilah geografis “Indian Archipelagian.” Sebab itu, Logan merupakan orang pertama yang menggunakan istilah “Indonesia.”

Tahun 1877, E.T. Hamy, antropolog Perancis, menggunakan kata “Indonesia” untuk menjabarkan kelompok-kelompok ras prasejarah dan “pra-Melayu” tertentu di kepulauan Indonesia. Tahun 1880, antropolog Britania, A.H. Keane, mengikuti penggunaan Hamy. Di tahun yang sama, istilah “Indonesia” dalam pengertian geografis juga digunakan oleh ahli bahasa Britania, N.B. Dennys. Lalu di tahun 1882, Sir William Edward Maxwell, administrator kolonial dan ahli bahasa Melayu dari Britania mengikuti praktek Dennys.

Penggunaan istilah Indonesia lalu meluas. Adolf Bastian, etnograf Jerman, menggunakan kata “Indonesia” dalam 5 jilid karyanya berjudul “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel”. Karya tersebut terbit tahun 1884-1894. Bastian ini memiliki reputasi ilmiah yang tinggi. Sebab itu, kata “Indonesia” lalu lebih dianggap dan digunakan secara luas.

Pada September 1885, G.A. Wilken, seorang etnograf dan mantan pejabat Hindia Belanda sekaligus profesor di Universitas Leiden Belanda menggunakan istilah “Indonesia”. Wilken ini menggunakan istilah “Indonesia” secara geografi, sama seperti James Logan sebelumnya.

Para perkembangan kemudian, istilah “Indonesia” tidak lagi merujuk pada aspek geografis. Istilah itu juga kerap dipakai dalam konteks etnis dan budaya. Sejak karya Adolf Bastian, istilah Indonesia juga berfungsi menjabarkan suatu kawasan yang dianggap dihuni orang-orang dengan ciri etnis dan budaya yang mirip. Ciri tersebut meliputi bahasa, fisik, dan adat. “Indonesia” adalah kata sifat yang digunakan untuk mewakili sifat-sifat tersebut. Sementara kata “Indonesian” adalah orang-orang dengan ciri-ciri umum seperti itu, yang juga kadang digunakan untuk melukiskan penghuni Madagaskar hingga Formosa. “Indonesia” adalah kata guna melukiskan tempat-tempat yang mereka huni.

Aspek pertama gagasan Indonesia sebagai wilayah politik diutarakan pejabat Belanda. Pada tahun 1909, J.B. Van Heutsz, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyatakan bahwa Belanda telah meluaskan otoritasnya hingga seluruh penjuru terjauh Nusantara. Monumen peringatan peristiwa tersebut didirikan tahun 1932 dan kini terletak di kompleks Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta.

Aspek kedua munculnya Indonesia sebagai gagasan politik adalah integrasi vertikal seluruh wilayah Indonesia. Integrasi ini tercipta akibat perkembangan-perkembangan sarana berikut :
1. angkutan, terutama rel kereta dan jalan di Jawa serta jalur laut yang dibangun perusahaan perkapalan Belanda, Koninklijk Paketwaart maatschappij
2. kesaman mata uang
3. sistem administratif, pajak, dan hukum yang terpusat
4. wilayah-wilayah seperti Yogyakarta, Makassar, Meda, bahkan Kupang tidak bisa lagi dikatakan terisolasi dari pusat (Batavia/Jakarta)

Seluruh perkembangan di atas dan makin rumitnya kegiatan ekonomi Belanda di seantero kepulauan, merangsang pergerakan orang atau perantauan skala besar yang melintasi wilayan Indonesia. Ini misalnya akibat meluasnya perkebunan di Sumatra Timur serta transmigrasi yang disponsori pemerintah Belanda maupun kemauan sendiri. Hasil dari proses ini adalah makin banyak kontak antara berbagai ras di Indonesia. Tercipta kondisi saling paham menggantikan persaian yang marak sebelumnya. Ini diperkuat dengan penggunaan bahasa Melayu sebagai pengantar, yang penggunaannya meluas ke seluruh bagian kepulauan.

Kini, Indonesia sebagai kesatuan politis mulai memperlihatkan bentuknya. Ekses negatif dari kesatuan politis ini adalah terjadinya pembongkaran, pengabaikan, dan pembentukan ulang hubungan-hubungan ekonomi dan budaya yang sudah ada. Ekonomi kolonial Jawa menjadi model, dengan fokus kepada negara-negara Barat yang mengimpor produk kawasan tropis.

Sebelumnya, wilayah-wilayah lain lebih berfokus pada Singapura dan Penang. Wilayah ini terbiasa terintegrasi ke dalam perdagangan antarnegara lewat pelabuhan pulau Singapura. Mereka kini terpaksa mengikuti pola ekonomi kolonial di Jawa. Ekses lain dari Jawa sebagai model adalah kawasan Indonesia Timur terisolasi dari dunia luar. Dengan demikian, sifat negara “Hindia-Belanda” menjadi kuat, sangat terpusat, sangat birokratis, diatur dari dan dibentuk berdasarkan pengalaman Jawa.

Aspek ketiga dari munculnya gagasan politik Indonesia adalah gerakan yang dilakukan perintis Indonesia sebagai nation. Mereka terdiri atas aktivis surat kabar, mahasiswa, pemeluk agama, dan birokrat pribumi yang bekerja pada Belanda.

Setelah politik etis dimulai, banyak orang pribumi Hindia-Belanda yang belajar menguasai bahasa Belanda. Sebab, hampir seluruh bahasa ilmu pengetahuan dan informasi yang beredar saat itu menggunakan bahasa tersebut. Selain itu, mulai terbuka kesempatan menempuh jenjang pendidikan, meski tidak terlampau merata.

Beberapa media cetak seperti Retno Dhoemilah, Bintang Hindia, dan Pewarta Panji banyak membukan wawasan kalangan elit Indonesia untuk menyadari kebangsaan mereka. Dalam Retno Dhoemilah tergabung Dr. Wahidin Sudirohusodo, memegang jabatan pemimpin redaksi. Melalui media tersebut Wahidin menyebarkan gagasan kebangsaan Indonesia.

Selain itu, kalangan mahasiswa asal Hindia-Belanda di Belanda juga pegang peranan dalam membiakkan wawasan kebangsaan baru. Sebagian mahasiswa merupakan wakil dari kelas ningrat Jawa modernis yang berniat melakukan perubahan sosial. Mereka disebut sebagai priyayi baru. Juga, terdapat pula priyayi yang berasal dari Sumatera Barat, orang-orang perantau yang sejak dulu bersikap terbuka terhadap cara berpikir dan bertinda yang baru. Mereka tergabung dan Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Tujuan IV adalah memperjuangkan kepentingan orang Hindia di Belanda dan tetap menjaga hubungan dengan Hindia Timur Belanda.

Rombongan haji orang Hindia-Belanda ke Mekah juga pegang peranan. Snouck Hurgronje (islamolog Belanda) mengamati proses interaksi jamaah haji ini. Sebagian dari mereka menetap di Mekkah dan mendirikan Kampung Jawi, suatu koloni orang Hindia-Belanda di kota Mekah.

Di Mekah, jamah haji dari kepulauan Indonesia mempelajari aliran-aliran Islam reformis dan modernis yang jadi trend saat itu. Mereka membayangkan bagaimana jika mereka bersatu melawan kemapanan negara kolonial Belanda sebagai representasi Barat. Mulai muncul keinginan mendirikan negara Islam di Indonesia.

Pembiakan ideologi kebangsaan jamaah haji ini lebih dinamis di Kairo. Secara intelektual, Kairo lebih “segar” ketimbang Hijaz. Di Universitas Al Alzhar mereka mempelajari pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Di Kairo ini muncul suatu organisasi bernama Jamiah Setia Pelajar pada 1912. Organisasi ini banyak dipengaruhi pemikiran Rasyid Ridha dan mengembangkan rasa kesatuan Jawi.

Satu fenomena yang signifikan adalah gerakan yang dilakukan 3 serangkai: Douwes Dekker, Soewardi Suryaningrat, dan Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya mengkampanyekan bangsa yang satu jiwa yang hidup dan romantis. Dekker mendirikan Indische Partij (Partai Hindia) bersama Soewardi dan Tjipto. Dekker adalah peranakan campuran Jawa-Belanda, sementara dua lainnya priyayi Jawa yang progresif.

Gagasan Indische Partij adalah mendirikan suatu negara yang bukan didasarkan solidaritas etnis, ras, keterikatan keagamaan, atau kedekatan geografis. Yang diupayakan IP adalah ikatan bangsa baru berdasarkan rasa kesamaan pengalaman dan solidaritas khusus yang mengalir darinya. Pengalaman yang dimaksud adalah rasa sama-sama ditindas. Bagi Dekker, yang membentuk negara bukanlah kesatuan ras, kepentingan ataupun bahasa, melainkan kesatuan hukum yang mengatur bentang negara. Akibat aktivitasnya, tiga serangkai dibuang ke Belanda. IP dibubarkan pemerintah kolonial.

Konsep Indonesia yang tengah berkembang tidaklah monolitik. Hindia-Belanda saat itu juga disemaraki semangat berdasar primordialisme. Sentimen-sentimen agama, suku atau kedaerahan juga sangat kuat tatkala Indonesia belum merdeka. Contohnya Sarekat Islam, satu organisasi massa besar dan lintas pulau tetapi mendasarkan diri pada agama ini tumbuh 1912. Sarekat Islam bukan satu-satunya organisasi yang didasarkan pada semangat primordialisme.

Perserikatan Minahasa juga berdiri 1912, yang mungkin sebagai reaksi munculnya Budi Utomo (1908) yang menekankan Kejawaan. Perserikatan Minahasa tercipta karena hubungan khas wilayah itu dengan kolonial Belanda. Inti Perserikatan ini adalah perkumpulan prajurit Kristen Manado yang ditempatkan di Jawa tengah. Pada perkembangannya, perserikatan ini mengupayakan pemerintahan sendiri dan dibalas dengan penghapusan hak-hak istimewa mereka oleh kolonial Belanda.

Reaksi yang sama juga terjadi dengan didirikannya Pasundan, 1914, yang berupaya memperkuat identitas suku Sunda di Jawa Barat. Juga ada Kaum Betawi, yang melibatkan penduduk “asli” Batavia. Mei 1920 berdiri pula Sarekat Ambon, disusul Jong Java dan Jong Sumatranen Bond (1917). Jong Java terinsirasi konsep Jawa Raya, sementara JSB adalah kumpulan orang Sumatra dari aneka wilayah dan tinggal di Jawa. JSB menghendaki penyisihan sentimen kesukuan dan menyebut diri selaku orang Sumatera saja.

Sarekat Ambon didirikan di Semarang. Kebanyakan anggotanya orang Ambon yang jadi tentara kolonial Belanda di markas Semarang. Para pendirinya berupaya merangkul banyak orang Kristen Ambon yang kerja di kalangan kerang putih di Jawa. Salah satu tokohnya, A.J. Patty sangat terpengaruh gagasan Douwes Dekker. Baginya, tujuan SA adalah “mengangkat orang Ambon secara material dan spiritual, termasuk minoritas Muslim dalam masyarakat Ambon.

Seorang pemimpin Batak, Manullang, pada 1919 membandingkan nasib mereka dengan kemakmuran dan kekuasaan kaum kapitalis kuilt putih. Abdul Muis, jurnalis Sumatera Barat menyatakan kemerdekaan Hindia, bukan kemerdekaan koloni Hindia Belanda yang harus menjadi tujuan tindakan Pemerintah.

Kemunculan sentimen kesukuan ini dimanfaatkan Belanda untuk memecah belah. Lewat agennya H. Colijn dan rekan-rekannya, mereka menghembuskan provokasi berupaya penguatan sentimen perbedaan suku, ancaman dominasi Jawa, dan rasa takut bahwa identitas etnis akan hilang jika “Indonesia” mewujud. Tindakan ini dibalas oleh Perhimpunan Hindia dengan pernyataan “orang Jawa tetap orang Jawa, orang Sumatera tetap orang Sumatera, orang bukan bunglon, tapi semuanya bergabung menjadi satu BANGSA, satu NEGARA.”

Pembentukan nation Indonesia awal punya kontradiksi. Kontradiksi muncul akibat mengemukanya 2 kaidah berbeda seputar perlunya suku-suku Hindia-Belanda bersatu.

Kaidah pertama mengutamakan kesatuan budaya pribumi Indonesia, dengan tokohnya Soeryo Poetro di Belanda. Kaidah ini menganggap orang-orang Hindia Belanda bukanlah kumpulan ras yang beragam. Mereka boleh dianggap satu bangsa yang berasal dari leluhur yang sama. Alasan lainnya, sejarah menunjukkan mereka telah terlibat hubungan dagang yang aktif sesamanya. Sehingga, kekuatan Indonesia akan datang dari kesdaran bangsa Indonesia bahwa mereka semua bersaudara. Pada akhirnya, mereka semua akan melihat kekuatan besar macam apa yang tersembunyi di dalam bangsa Indonesia.

Kaidah kedua mengutakan kesatuan berdasar nasib terjajah. Ini diajukan oleh Tjipto Mangunkusumo dengan visinya yaitu nasionalisme antarpulau Indonesia terbangun atas ikatan yang tidak peduli seberapa besar beda budaya dan sejarah suku-suku, tetapi yang terpenting satu ikatan besar mempersatukan mereka semua, yakni kesamaan penjajahan ekonomi dan politik oleh suatu kekuatan asing.

Rasialisme mulia menggejala di pergerakan awal Indonesia. Pada tahun 1919, Hasan bin Sumayt (seorang Arab Yaman) ditolak masuk Sarekat Islam karena dianggap orang asing. Kasus tersebut bukanlah satu-satunya. Kasus-kasus ini akibat program persamaan hak Insulinde yang dipromosikan pemerintah Kolonial. Atas hal ini, muncul kekhawatiran di kalangan pribumi bahwa tidak lama lagi, tanah orang Jawa akan beralih dari kolonial Belanda ke tangan bangsa Arab, Cina, dan Eropa.

Hingga tahun 1920-an, gagasan “Indonesia” sudah sangat kuat berhembus. Tahun 1922, mahasiswa Indonesia dan Malaya di Universitas Al Azhar Kairo mendirikan Jama’ah al-Chairiah al-Talabijja al-Azharian al-Djawiah (Jamaah Kesejahteraan Mahasiswa Jawa Al-Azhar. Di Belanda, pada 1922 juga, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan menggunakan nama Perhimpunan Indonesia secara tetap mulai 1925.

Tahun 1922 diadakan Kongres Seluruh Hindia di Hindia-Belanda. Tujuannya mengupayakan persatuan berdasarkan model Kongres India dan memperjuangkan otonomi Hindia di bawah persemakmuran Belanda dengan kemitraan setara. G.S.S.J. Ratulangie mulai memperkenalkan nama “Indonesia.”

Tahun 1923, H.O.S. Tjokroaminoto mengadakan Kongres Nasional Hindia, juga meniru model India. Tujuan kongres adalah menyatukan organisasi-organisasi lokal dan regional untuk memperjuangkan “kemerdekaan dan kebebasan nasional.” Di kongres tersebut, Tjokroaminoto menyatakan janganlah lupa akan gagasan kesatuan bangsa. Jangan pula membeda-bedakan antar ras dan suku, orang Sumatra, orang Bali, orang Jawa, orang Sulawesi dan Borneo. Semuanya orang Hindia. Sayangnya, Sarekat Islam yang dipimpinnya lambat-laut larut dalam gerakan Pan-Islamis kemudian organisasi besar ini hilang dalam dinamika pembentukan nasion Indonesia.

Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda, memulai peran pentingya selaku motor konsep Indonesia merdeka. Jurnal bulanan organisasi ini, Indonesia Merdeka, mulai terbit sejak 1924. Pelanggannya adalah Tjokroaminoto, Abdul Muis, Tjipto Mangoenkoesoemo, Abdul Rivai, Soewardi Suryaningrat, Douwes Dekker, Sarekat Islam, Indonesische Studieclub, bupati dan pejabat pemerintah senior pribumi, van Vollenhoven, Sneevliet, G.J. Hazeu, Snouck Hurgronje, redaksi koran-koran Belanda, organisasi-organisasi internasional, pangeran Solo dan pendukung nasionalisme Jawa, Mangkunegoro VII, dan redaktur Seruan Al Azhar (jurnal organisasi Jama’ah yang didirikan di Kairo).

Ancestor Indonesia

Penyebutan “Indonesia” pada tulisan ini mengacu pada wilayah yang kini termasuk ke dalam Negara kesatuan Republik Indonesia. Wilayah ini, pada materi sebelumnya, masuk ke dalam colonial Belanda. Gugusan kepulauan berikut penduduk yang menempatinya merupakan “genius lokal” yang berhasil mengadaptasi beberapa jenis budaya “luar” yang datang menghampirinya.

Tidak kurang budaya-budaya Hindu-Buddha, Islam, Timur Jauh, dan tentunya Barat (Portugis, Belanda, Inggris) datang dan meninggalkan bekas, untuk kemudian perpaduannya dengan budaya lokal diakui sebagai bagian dari budaya Indonesia. Kendati masing-masing budaya “luar” tersebut berbeda tingkat kedalaman pengaruhnya, masyarakat kepulauan Indonesia berhasil “meracik” dan dianggap sebagai bagian budaya Indonesia sendiri. Hal ini akan kita perlihatkan dalam materi-materi yang kemudian.

Mata kuliah ini menekankan pada dinamika saling pengaruh dan mempengaruhi antara budaya lokal dengan budaya yang datang dari luar wilayah kepulauan. Sebab itu, menjadi suatu keharusan untuk terlebih dulu disampaikan seperti apa bentuk-bentuk budaya lokal yang dianut penduduk Indonesia. Ini penting dilakukan demi keperluan analisis seputar pengaruh yang diberikan budaya “luar” atas Indonesia. Tanpa deskripsi atas budaya lokal, bahasan akan sulit terkendali dan kemungkinan tiada menemui tujuannya.

Tentu saja, diperlukan literatur atau bahkan penelitian tersendiri guna mendeskripsikan seperti apa bentuk budaya yang “lokal” Indonesia. Kajian ini agak sulit mengingat penduduk Indonesia sendiri berkembang melalui sejumlah migrasi penduduk dari wilayah selatan Cina. Termasuk ke dalamnya tidak diketahui batasan pasti mengenai kapan penduduk lokal Indonesia memulai kontak dengan kebudayaan “luar.” Sebab itu, tulisan ini pun perlu dikritisi demi menemui perbaikannya.

Kesulitan mengenai batasan antara mana yang disebut penduduk “asli” Indonesia dengan yang bukan pun ditemui oleh Bernard H. M. Vlekke. Sejarawan Belanda itu menyebut oleh sebab kepulauan Indonesia terletak di jalur laut utama antara Asia bagian timur dan selatan maka “dengan sendirinya bisa diperkirakan akan terdapat populasi yang terdiri atas beragam ras.” Jika kajian Vlekke dijadikan sebagai titik pijak, maka ada baiknya dilakukan penelusuran terlebih dahulu genealogi ras dari manusia-manusia yang mendiami sekujur kepulauan Indonesia ini.

Ancestor atau nenek moyang kerap dirujuk sebagai suatu konsep guna menerangkan genealogi manusia yang terlebih dahulu dilanjutkan dengan yang muncul di masa kemudian. Mengenai ancestor manusia Indonesia ini, Koentjaraningrat menyebut sekurangnya 1 juta-an tahun lampau, sudah ada Pithecanthropus Erectus yang hidup di lembang sungai Bengawan Solo. Makhluk yang sejenis dengan Pithecanthropus Erectus ini juga ditemukan di gua-gua dekat Peking (Cina) dan wilayah Asia Timur.

Terdapat suatu teori dari Sarasin bersaudara (Paul dan Fritz Sarasin) yang menyebut bahwa populasi asli Indonesia adalah suatu ras berkulit gelap dan bertubuh kecil yang turunan dari ras asli ini disebut orang Vedda. Koentjaraningrat menyebut orang Vedda ini menunjukkan persamaan pula dengan penduduk asli Australia (Aborigin) dan menyebutnya Austro-Melanosoid. Penamaan Vedda ini diambil dari salah satu suku yang terkenal di Srilanka. Termasuk ke dalam ras ini adalah suku Hieng di Kamboja, Miao-tse dan Yao-jen di Cina, Senoi di Semenanjung Malaya, Kubu, Lubu, dan Mamak di Sumatera, serta Toala di Sulawesi.

Ras ini awalnya mendiami seluruh wilayah Asia bagian tenggara yang saat itu masih bersatu dalam satu daratan dalam periode Glasial (zaman es). Di akhir periode Glasial, es mencair dan berakibat naiknya permukaan laut. Muncullah Laut Cina Selatan dan Laut Jawa yang mana keduanya memisahkan wilayah pegunungan Vulkanik Indonesia dari daratan utama. Penduduk asli (yang berkulit gelap tadi) tinggal di wilayah pedalaman, sementara wilayah pesisir dihuni oleh kaum pendatang. Kaum pendatang ini akan dibahas lebih lanjut oleh paragraph-paragraf di bawah ini.

Orang Vedda atau Austro-Melanosoid ini kemudia menyebar ke Timur dan menduduki Papua, Sulawesi Selatan, Kai, Flores Barat, Timor Barat, Seram -- sebelum es periode Glasial mencair -- dan terus ke timur menduduki pula Kepulauan Melanesia. Sebagian menyebar ke Barat dan menduduki Sumatera. Di Sumatera ini mereka mengembangkan alat kapak genggam dan suka memakan kerang yang dibuktikan tumpukan fosil kulit kerang di Sumatera Utara dekat Medan, dekat Langsa (Aceh), Perak, Kedah, dan Pahang di Malaysia.

Selain di Sumatera, bukti penggunaan kapak genggam juga ditemukan di gua-gua Jawa semisal Gua Sodong (Besuki), Gua Petruruh (Tulungagung), Gua Sampung (Ponorogo) bahkan di Vietnam Utara. Sebab itu, Koentjaraningrat mengajukan pendapat, terjadi perpindahan penduduk Austro-Melanosoid dari timur ke barat, dari Jawa menuju Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, hingga Vietnam Utara. Melalui perpindahan ini dimungkinkan terjadinya percampuran antara ras Austro-Melanosoid dengan Mongoloid.


Kaum pendatang lalu datang dalam 2 gelombang. Gelombang pertama disebut Proto-Melayu dan gelombang kedua disebut Deutero-Melayu.

Proto-Melayu dipercaya sebagai ancestor dari penduduk yang menghuni kawasan kepulauan dari Madagaskar hingga pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka ini datang dari Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunnan. Mereka bermigrasi dalam jumlah besar, pertama menuju Indochina, Siam, dan terakhir ke Kepulauan Indonesia. Taksiran waktunya adalah 11.000 - 2000 sM.

Perkakas mereka berasal dari periode neolitik. Selain dari Yunnan, Koentjaraningrat juga menyebut kemungkinan Proto-Melayu ini datang dari Kepulauan Ryukyu Jepang, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi Selatan yang dibuktikan dengan adanya Suku Toala Proto-Melayu. Mereka ini sudah mengembangkan budaya berburu dengan busur dan panah.

Proto-Melayu yang juga disebut Koentjaraningrat dengan Paleo-Mongoloid ini kemudian didesak oleh gelombang migrasi kedua (Deutero-Melayu) sekitar 300 s/d 200 sM. Manusia yang migrasi ini berasal dari Indochina bagian utara dan sekitarnya. Perkakas mereka ini berasal dari logam, termasuk senjata besi. Mereka juga sudah bergiat bercocok tanam di ladang dan menggunakan perahu bercadik.
Padi kemudian dibawa Deuteru-Melayu ini dari wilayah Assam Utara atau Birma Utara, lewat lembah sungai Yang-tze (Cina Selatan) dan akhirnya menemui tempatnya yang subur di Pulau Jawa.

Pada perkembangannya, Proto-Melayu dan Deutero-Melayu membaur secara bebas sehingga sulit dibedakan. Sebagai taksiran, dapat disebut Suku Gayo dan Alas di Sumatera bagian utara serta Toraja di Sulawesi sebagai representasi Proto-Melayu. Setelah itu, hampir seluruh suku lain (kecuali Papua) dimasukkan ke dalam kategori Deutero-Melayu. Kendati demikian, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa ancestor dari penduduk di wilayah kepulauan Indonesia adalah serumpun yaitu turunan dari penduduk asli dan dua gelombang migrasi dari utara.

Paparan di atas mengisyaratkan pembagian secara kronologis. Mana yang datang terlebih dulu dan mana yang kemudian. Hal seperti ini serupa dengan periodisasi kurun kehidupan masyarakat Indonesia. Kajian budaya ini, sebab itu termasuk pula perhatian atas dimensi kesejarahan. Oleh sebab penduduk asli Indonesia tidak meninggalkan suatu bukti tertulis (prasasti yang memuat tulisan tarikh), maka kajian atas budayanya dilakukan lewat periodisasi era atau zaman.

Kategori serumpun ini dibuktikan lewat kajian linguistik. Hampir 170 bahasa yang dipakai di penjuru kepulauan termasuk kelompok Austronesia, dengan sub Melayu-Polinesia. Sub Melayu-Polinesia ini kemudia dipecah lagi menjadi dua: Kelompok pertama terdiri atas bahasa yang berkembang di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi; Kelompok kedua terdiri atas bahasa yang berkembang di Batak, Melayu standar, Jawa dan Bali. Bahasa kelompok kedua ini datang lama setelah yang pertama. Selain kedua kelompok tersebut, perlu dilakukan kajian atas susunan bahasa lain yaitu Papua dan Halmahera Utara.

Lalu bagaimana Melayu dapat menjadi bahasa persatuan Indonesia? Bahasa Melayu awalnya hanya digunakan orang-orang yang tinggal di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Pada perkembangannya, wilayah-wilayah tersebut giat melakukan kegiatan dagang yang meluas hingga ke bagian timur kepulauan Indonesia. Banyaknya pelabuhan dagang di Sumatera dan Semenanjung Malaya lalu membuat Melayu menjadi Lingua Franca di perairan Indonesia.

Jaman Batu dan Logam

Yang dimaksud dengan kebudayaan penduduk asli Indonesia adalah orisinalitas budaya manusia Indonesia sebelum bercampur dengan budaya-budaya lain yang masuk kemudian seperti Timur Jauh (Cina), Hindu-Buddha, Islam, dan Barat. Cukup sulit guna menentukan hal ini oleh sebab tiadanya bentuk tulisan sebagai bukti adanya kebudayaan tersebut.

Sebab itu, sejumlah ahli menggunakan peninggalan-peninggalan material guna menaksir jenis kebudayaan yang berkembang di era prasejarah ini. R. Soekmono sebagai missal, membagi periodisasi perkembangan budaya Indonesia menjadi 4, yaitu :
  1. Jaman Prasejarah (sejak ancestor muncul hingga 500 M)

  1. Jaman Purba (sejak pengaruh India hingga lenyapnya Majapahit tahun 1500 M)

  1. Jaman Madya (sejak pengaruh Islam di akhir Majapahit hingga akhir abad ke-19)

  1. Jaman Baru (sejak masuknya anasir-anasir Barat dan teknik moderen, dari 1900 hingga sekarang)

Kajian budaya asli Indonesia, sebab itu masuk ke dalam Jaman Prasejarah akibat ketiadaan bukti tertulisnya. R. Soekmono kemudian membagi kajian peninggalan prasejarah Indonesia ini ke dalam beberapa tarikh, yaitu Jaman Batu dan Jaman Logam. Jaman Batu terbagi atas Paleolithikum, Mesolithikum, dan Neolithikum. Jaman Logam terbagi atas Jaman Tembaga, Jaman Perunggu, dan Jaman Besi.

Paleolithikum. Bukti kebudayaan ini ditemukan di Pacitan dan Ngandong sehingga dikenal sebagai sebagai Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong. Penemunya Von Koenigswald tahun 1935. Kebudayaan Pacitan adalah kebudayaan yang dikembangkan Pithecanthropus Erectus dan berwujud kapak-kapak batu. Kapak-kapak tersebut biasanya digunakan untuk menyiangi (menguliti) hewan sehingga diprediksi kebudayaan mereka ada berburu dan meramu.

Kebudayaan Ngandong (dekat Ngawi, Madiun) lebih komplek, sebab selain kapak batu juga ditemukan peralatan dari tulang hewan dan tanduk rusa. Selain itu, budaya ini juga ditemukan di Cabenge (Sulawesi Selatan). Tulan dan tanduk rusa, selain untuk menguliti hewan, juga untuk mengorek umbi-umbian. Sebab itu disimpulkan sudah ada budaya cocok tanam di Kebudayaan Ngandong ini.


Mesolithikum. Kebudayaan Mesolithikum ini terutama ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Budaya yang berkembang adalah berburu dan menangkap ikan, selain juga telah bercocok tanam. Mereka hidup di gua-gua dan pinggir pantai. Di periode inilah, sampah-sampah kulit kerang ditemukan. Selain itu, mereka sudah menemukan cara bagaimana menggiling dan menghaluskan sesuatu. Kapak-kapak batu yang berkembang lebih halus ketimbang dari masa Paleolithikum.l

Selain dari batu, peralatan dari tulang hewan juga diketemukan layaknya di masa Paleolithikum. Suku Toala di Sulawesi adalah contoh dari masyarakat Mesolithikum ini yang dalam gambaran Vlekke, sesuai dengan masa manusia Proto-Melayu. Pada masa ini, berkembang teori Sarasin bersaudara (Fritz dan Paul Sarasin) tentang orang Vedda dari Srilanka.

Masa Mesolithikum ini juga telah mengenal panah dengan matanya yang bergerigi dan pangkalnya yang bertangkai. Selain panah, ancestor Indonesia di masa ini juga telah punya daya seni. Ini dibuktikan dengan cap-cap tangan di dinding gua Leang-leang (Sulawesi Selatan), termasuk pula gambar babi hutan.

Neolithikum. Beda Neolithikum dengan dua masa sebelumnya adalah relative tersebarnya budaya ini ke sekujur kepulauan. Di masa ini telah beralih budaya dari food-gathering menjadi food-producing. Kehidupan mengembara telah jarang digantikan dengan menetap, bertani, dan beternak. Mereka telah membuat rumah sehingga dasar-dasar pertama bagi budaya Indonesia telah menampakkan bentuk.

Kapak yang digunakan pada masa Neolithikum sudah persegi dan memiliki ketajaman di sisi-sisinya. Kapak jenis ini banyak ditemukan di Sumatera, Jawa dan Bali, sementara di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Sulawesi relative jarang. Kapak jenis sama juga ditemukan di Malaysia Bara dan India belakang tetapi pembuatan masih kasar. Sebab itu dapat dikatakan saat itu budaya yang berkembang di Indonesia relative lebih maju ketimbang di dua wilayah tersebut.

Selain kapak, juga ditemukan aneka perhiasan berupa gelang-gelang dari batu. Gelang batu ini menghendaki teknik rumit dalam memahat dan menghaluskan. Pakaian juga sudah berkembang dari kulit kayu sehingga dapat dikatakan masyarakat Indonesia era Neolithikum sudahlah berpakaian. Selain perhiasan dan pakaian, tembikar pun telah dikembangkan di era Neolithikum ini. Namun, metode pembuatannya berbeda dengan masa kini yang menggunakan roda landasan. Di masa itu, setelah bentuk tembikar sudah tercapai, penghalusan dilalukan dengan batu asah.

Jaman Logam. Dengan mulainya Jaman Logam, bukan berarti Jaman Batu berakhir. Penggunaan batu tetap dilakukan, sementara logam pun telah mulai digunakan orang. Penggunaan logam menghendaki teknologi yang rumit. Tidak seperti batu yang dapat langsung dipukul dan dipecah, logam haruslah dilebur terlebih dulu. Setelah dilebur, kemudian dicetak sesuai bentuk yang dikehendaki dengan cetakan tanah.

Logam Perunggu digunakan sebagai material pembuat kapak corong. Kapak corong ini dibuat dari logam perunggu dengan cetakan tanah. Ia dikembangkan di Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Pulau Selayar, dan Papua (dekat Danau Sentani). Kapak Corong ini memiliki mata dan lubang tempat dipasangi kayu pemegang.

Selain kapak corong, juga masa logam ini ditandai dengan Nekara. Nekara fungsinya hampir mirip dengan dandang guna menanak nasi atau memasak sesuatu. Ia ditemukan di Pulau Selayar Suamtra, Jawa Bali, Sumbawa (dekat Pulau Sangean), Roti, Leti, dan Kepulauan Kei.

Megalithikum. Megalithikum adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan besar. Jauh sebelum kedatangan pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat asli Indonesia telah mengembangkan bangunan-bangunan seperti keranda batu tempat mayat, kubur batu, punden berundak (di Lebak Sibedug, Banten Selatan), serta ukir-ukiran batu. Sebab itu, ancestor Indonesia telah punya budaya sendiri sebelum datangnya budaya “luar”. Budaya luar yang masuk sekadar memberi pengaruh terhadap budaya yang telah ada. Arca atau patung pun sudah mulai dibuat ancestor Indonesia, semisal yang ditemukan di Pasemah (Sumatera Selatan).

Budaya Asli Indonesia

Vlekke menyebut bahwa budaya yang dikembangkan ancestor Indonesia adalah pertanian. Tipe pertanian ini sudah sangat maju oleh sebab menggunakan sistem irigasi. Teknik pertanian dengan irigasi ini terutama berkembang di Jawa bagian tengah. Iklim dan kesuburan tanah vulkaniknya mendukung pertanaman padi sawah.

Selain pertanian, budaya asli lainnya adalah sistem sosial yang diikat berdasarkan “desa.” Desa terdiri dari sekelompok rumah pertanian, lumbung makanan, halaman, ladang, kolam ikan, hutan sekitar dan tanah yang belum dikelola. Desa adalah sebutan untuk Jawa, sementara di wilayah lain adalah Gampong (Aceh) ataupun Nagari (Sumatera Barat). Di desa ini muncul ikatan kerjasama masyarakat yang disebut gotong-royong. Kepala desa dipilih secara langsung, tetapi bukan dengan mekanisme voting melainkan musyawarah untuk mufakat.

Supartono Widyosisworo secara berani bahkan menyebut 10 budaya yang asli dimiliki orang Indonesia, yaitu :

1. Kemampuan berlayar
Hal ini dibuktikan dengan asal-usulnya yang dari Cina bagian selatan, juga kemungkinan Jepang, yang sampai ke kepulauan Indonesia dengan menggunakan perahu cadik (outriggers). Perahu cadik ini digunakan untuk menjelajahi Madagaskar, Jepang Selatan, dan Selandia. Cadik terbuat dari kayu ataupun bamboo yang digunakan demi mengatasi olengan kiri-kanan perahu.

2. Kepandaian Bersawah
Kegiatan bercocok tanam menetap di sawah beririgasi telah lama dikembangkan ancestor Indonesia. Ini semakin menghebat tatkala sudah ditemukan alat-alat dari logam (perunggu) sebagai cangkul dan bajak.

3. Astronomi
Jauh sebelum kedatangan bangsa Arab dan Barat, ancestor Indonesia telah punya tata astronomi sendiri sebagai pengenal arah. Gubug Penceng adalah rasi yang digunakan sebagai petunjuk arah selatan, sementara Bintang Waluku sebagai petunjuk awalnya musim pertanian.

4. Administrasi Masyarakat
Seperti telah disebut, desa adalah wujud asli dari tata sosial masyarakat Indnesia. Meski penyebutannya berbeda-beda di setiap wilayah, esensinya adalah sama.

5. Sistem Macapat
Macapat berarti cara yang didasarkan pada jumlah empat dari sistem mata angin: utara, selatan, barat dan timur. Misalnya, dalam tata desa, pusat kegiatan berada di tengah sementara bagian-bagian desa lain berada di utara, selatan, barat, dan timur-nya. Kepala desa berada di tengah, tentunya. Demikian pula kota, alun-alun (tanah lapang) berada di tengah, penguasa tinggal di sebelah utara, pasar di selatan, kantor di barat, dan bangunan suci di sebelah timur. Selain tata desa dan kota, sistem macapat juga ditemukan dalam tembang dan syair yang terdiri atas empat bait.

6. Wayang
Banyak yang berujar wayang adalah tradisi yang dikembangkan India ataupun Wali Songo. Sesunggunya tidaklah demikian, oleh sebab wayang telah berkembang jauh sebelum persentuhan Indonesia dengan budaya “luar”. Budaya yang kemudian masuk hanya “memolesnya.”

Awalnya, wayang adalah sarana upacaya kepercayaan. Ancestor yang meninggal dibuatkan perwujudan, biasanya boneka. Dengan penerangan blencong (lampu minyak kelapa atau jarak) boneka dimainkan pimpinan agama diiringi cerita dan nasehat. Anak cucu menyaksikan di belakan layar.

7. Gamelan
Gamelan asal katanya gamel yang berarti pukul. Selain yang dipukul juga telah berkembang alat yang ditabuh seperti gambang dan gendang. Gong adalah yang dari logam. Gamelan ini biasanya digunakan sebagai pengiring upacara-upacara keagamaan atau perayaan tertentu.

8. Batik
Batik asli Indonesia adalah yang menggunakan canting. Terkenal sebagai batik tulis. Batik adalah kain yang digambari ornamen-ornamen hias. Hampir tiap wilayah Indonesia telah mengembangkan batiknya sendiri.

9. Kerajinan Logam
Sesuai perkembangan budaya Jaman Logam, orang Indonesia asli telah mampu membuat nekara, ataupun gong. Termasuk ke dalamnya adalah pacul dan bajak guna mengolah sawah.

10. Perdagangan
Barter adalah budaya awal sistem perdagangan nusantara sebelum diketemukannya uang. Kendati demikian, sistem barter bukan saja dikenal oleh orang Indonesia tetapi berlaku umum di seluruh kebudayaan dunia. Perdagangan ini tumbuh oleh skill berlayar dan kemampuan memproduksi bahan makanan (beras) oleh ancestor Indonesia.